![]() |
“Jarar Siahaan dipotret oleh Jarar Siahaan.” Aku memfoto bayangan wajahku sendiri pada cermin kecil dekat jendela, Desember 2015. |
Selaku wartawan aku bersikap kritis dan independen bukan hanya terhadap narasumber berita, melainkan juga terhadap pemilik media, orang yang menggajiku. Bukan cuma satu kali atau dua kali aku melawan majikan gara-gara prinsip idealisme jurnalistik, baik semasih menjadi reporter daerah maupun setelah menjabat pemimpin redaksi, dan aku membangkang secara frontal, terang-terangan, sehingga aku dipecat. Aku akan menceritakannya dalam artikel-artikel blog JARAR SIAHAAN ini.
Aku tidak memercayai sebagian besar muatan internet dan berita pers, termasuk Tribunnews, tvOne, dan MetroTV. Aku meragukan ucapan pejabat pemerintah, politikus, pemborong, dan aktivis antikorupsi. Aku percaya kepada hanya dua orang dari sepuluh “teman” yang berbicara denganku baik di dunia nyata maupun di dunia maya internet.
Aku tidak seperti kejamakan orang yang bangga bertitel sarjana walau berotak udang, atau melantamkan diri sebagai hamba Allah meski berhati iblis.
Sepuluh tahun silam musisi Viky Sianipar mencantumkan namaku “Jarar ‘Raja Iblis’ Siahaan” pada sampul albumnya, dan aku diganjar sebagai satu dari “Sepuluh Inspirator Sumatra Utara 2008” oleh Medan Weekly.
Umurku 40-an tahun. Sudah sembilan tahun aku membelenggu diriku sendiri dengan status “pernah menikah”. Anakku dua: perempuan dan laki-laki. Yang sulung sudah duduk di bangku SMA.
Semasa remaja di kampungku di Balige, Kabupaten Toba Samosir, aku dipanggil teman-temanku dengan nama pendek JJ atau Je. Jika sekarang orang bertanya apa itu JJ, aku menjawab, “Singkatan Jugul Jugul.” Makna kata jugul dalam bahasa Batak Toba: tidak bisa diatur; keras hati; tekun.
Aku mulai menjadi wartawan pada tahun 1994 sebagai reporter daerah koran harian Medan Pos; kemudian reporter tabloid Bintang Sport Film; redaktur harian milik grup Jawa Pos di Medan pada tahun 2000; stringer, wartawan-foto lepas, di Palembang untuk Antara Foto, Jakarta; pewawancara gelar wicara politik di satu stasiun radio FM di Balige; pemimpin redaksi empat koran mingguan dan tabloid dwimingguan di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Samosir mulai tahun 2010; redaktur senior RMOL pada 2017. Pada masa mendatang aku ingin menerbitkan LAKLAK, majalah berita hiperlokal bergenre jurnalisme sastrawi.
Aku tidak pernah menyisir rambut, mengenakan jam tangan, cincin, atau perhiasan apa pun. Sudah bertahun-tahun aku tidak mengantongi dompet. Kehendakku memiliki hanya empat setel pakaian—celana jin dan kemeja—hampir tercapai. Satu-satunya jasku sudah hilang, dan aku senang.
Tubuhku kurus kayak tidak terurus. “Aku lebih papa daripada orang termiskin di kolong jembatan tetapi lebih makmur daripada orang terkaya di kolong langit.”
Aku tidak betah tinggal di daerah panas. Aku lebih suka kedinginan ketimbang keringatan. Aku sanggup menyendiri berbulan-bulan: tidak berbicara dengan siapa pun, tidak memakai ponsel dan internet.
Aku amat anti terhadap manusia hipokrit yang berlagak santun. Aku lebih menyukai orang yang sombong tapi jujur daripada orang yang rendah hati tapi pembohong. Aku membenci penjiplak seperti membenci koruptor; keduanya sama-sama maling. Aku tidak mau berteman akrab dengan orang kaya, dan yang takkaya tapi suka berfoya-foya.
Aku bukan fanatikus Prabowo atau Jokowi, Ahok atau Anies, FPI atau JIL; aku memihak kebenaran. Aku bukan pencinta binatang; aku menyayangi umat manusia. Aku bukan pembela agama; aku mementingkan akal sehat dan kemanusiaan.
Dalam dunia tulis-menulis aku bukan kawanmu dan bukan lawanmu, bukan hamba penguasa dan bukan humas Yang Mahakuasa, dan bukan pula penghibur hati pembaca. Aku menghayati satire dan mengamalkan sarkasme.
Aku hidup di dua dunia: di bumi dan di dalam angan-anganku sendiri.❖
Balige, 10 Desember 2017

—konon aku “berasal dari Venus” (Dewi Cinta: keindahan, keharmonisan, kedamaian) dan “tercipta dari udara” (tenang, bebas, taktersentuh)
—artikel pertama yang kutulis dalam blog JARAR SIAHAAN ini: “Jatuh Cinta kepada Wartawan”